tugas bahasa indonesia (masih jelek)

The Hotel Murdered Mystery
Liburan kali ini, aku dan 3 sepupu cowokku, Kevin, Raka, dan Tryan liburan ke Pantai Anyer. Tryan memilihkan sebuah hotel yang terlihat bagus. Meskipun bukan hotel berbintang seperti biasanya, tapi hotel itu cukup bersih penataannya. Tidak ada kesan seram sama sekali.
Tapi, entah mengapa firasatku mengatakan ada yang tidak beres.
3 makhluk itu hanya tertawa mendengar curhatanku. Kata Tryan: “ga usah kuatir napa, setan disini udah pada takut sama Raka kok.” Kata-katanya disambut dengan jitakan indah di kepala. Aku terpaksa nyengir, lebih baik daripada dibilang penakut oleh mereka.
Setelah menaruh barang-barang di kamar hotel masing-masing, kami tanpa buang waktu langsung jalan-jalan di pantai. Hotelnya memang terletak dekat bibir pantai, jadi pintu belakangnya memang langsung menghadap pantai. Aku mencoba mengusir perasaan tak enak itu dengan melakukan hal-hal menyenangkan: membuat istana pasir (dan gagal), mengubur sebagian badan Kevin dengan pasir, lomba mengumpulkan keong melawan Raka, tapi tetap saja gagal. Aku hanya berdoa dalam hati semoga firasatku kali ini salah.
Malamnya cukup menyenangkan, setelah makan seafood dari salah satu rumah makan di dekat hotel, kami membeli jagung dan membakarnya. Aku tertawa-tawa mendengar Tryan menyanyi-nyanyi lagu Indonesia yang di-medleykan, dan menyanyikan lagu-lagu pembuka film kartun, seperti Crayon Shinchan (“Seluruh kota merupakan tempat bermain gembira, oh senangnya, aku senaaanngggg sseeekkaaalllliii....”), Doraemon (“Aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak seekkaaalllliiii...”). Kami menyanyi sambil tertawa-tawa berisik, sampai-sampai dipelototi ibu-ibu yang kamarnya tidak jauh dari kamar kami. Aku tidak terlalu peduli, karena aku baru menyadari, aku sudah jarang bertemu dengan mereka semenjak aku masuk SMA.
Aku memang cukup dekat dengan mereka semua, apalagi selisih umur kami beda setahun-dua tahun. Tryan sudah masuk semester 3 di kuliahnya (dia mengambil jurusan arsitektur). Raka kelas 12 IPA di SMA. Kevin kelas 11 IPA di SMA. Dan aku sendiri baru kelas 10. Aku paling muda dari semuanya, cewek sendiri pula. Tidak heran meski semuanya jahil, mereka sesungguhnya sangat protektif denganku. Sampai pacar mereka semua iri melihat kedekatanku. Haha. Aku sendiri belum punya pacar sampai saat ini. Dan aku tidak mempermasalahkannya. Iyalah, kalau sekedar untuk mengantarku kemana-mana tinggal minta tolong Kevin, menanyakan cara mengerjakan soal trigonometri ke Tryan, curhat ke Raka. Jadi aku tidak merasa ada yang kosong meski belum punya kekasih hati.
“Udah ah, aku ngantuk nih. Kak Kevin, kak Raka, kak Tryan, kalian nggak tidur? Gue tidur duluan ya,” kataku sambil menguap.
“Yah... udah kayak bocah aja, tidur jam 9,” Raka meledek.
“Heh, gila capek nih aku gara-gara tadi lomba sama kakak! Udah ah aku tidur yaa... Dadah, met malem,” jawabku cuek.
“Oke, mimpi indah ya Kidiw,” kata Kevin lembut. Kidiw adalah panggilan kecilku, dari kata “Widy kecil” menjadi “Widik” lalu “Kidiw”.
“Iya kak, thanks,” jawabku pendek.
Aku kembali ke kamar tidurku, dan firasat itu kembali menerorku. Sebenarnya ada apa ini...? kenapa firasat ini tidak hilang-hilang? Akhirnya, dalam usahaku menekan perasaan tidak enak itu, aku jatuh tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi buruk, aku seperti dikejar-kejar oleh bayangan yang membawa belati. Tidak ada yang berusaha menolongku, meski aku berteriak sekeras mungkin. Aku panik. Panik panik panik.
“Widyyyy... sadarlah! Sshhh, kenapa kamu teriak-teriak begitu? Tenang, tenang, ada aku,” nada suara lembut itu rasanya kukenali. Iya, suara Kevin! Aku langsung memeluknya saking takutnya. Kevin menepuk-nepuk bahuku.
“Tenanglah, itu hanya mimpi,” kata Kevin.
“Tapi kak... Kakak tau kan dari tadi firasatku ga enak banget? Entah kenapa sampai terbawa mimpi gini.”
“Kamu hanya stres kok—,”
“AAAAAAAA!” Tiba-tiba terdengar jerit wanita. Aku langsung bangun dari tempat tidur. Kevin pun tiba-tiba terlihat was-was.
“Kamu tunggu disini, jangan kemana-mana!” katanya tegas. Dia langsung berlari ke arah kamar Raka dan Tryan.
Bagus, sekarang malah aku yang ketar-ketir disini. Menunggu semenit seperti menunggu sejam. Raka dan Tryan akhirnya bangun. Ada sinar kewaspadaan dan kegairahan di mata mereka. Oh ya, apa aku belum cerita? Tryan, Raka dan Kevin adalah trio detektif di keluarga besarku. Mereka terinspirasi dari Sherlock Holmes. Malah kadang Raka membantu analisis suatu kasus di kepolisian (bapaknya bekerja sebagai polisi). Dan dia mendapat tambahan uang saku dari keterampilannya itu. Keren kan?
Aku mengikuti mereka berjalan ke TKP. Disana banyak orang telah berkumpul. Ternyata ditemukan mayat seorang pria di dalam kamar hotel. Mayat itu menggantung di loteng (ya, aku baru menyadari ada ruang rahasia di hotel ini, di tempat yang kukira hanya plafon atap ternyata ada loteng. Entah untuk apa maksudnya).
“Bagaimana....?” aku ngeri bahkan untuk menyelesaikan kalimatku sendiri.
Ketiganya bergerak mendekat ke jenazah. Untuk pertama kalinya aku melihat ekspresi yang sangat serius di wajah Raka yang biasanya iseng dan suka bercanda itu. Dari kantong celana jeans Raka ia mengeluarkan 3 pasang sarung tangan untuknya dan sepupu yang lain. Seolah tanpa perlu di komando lagi, mereka bergerak terpisah, menyelidiki hal-hal yang bisa diselidiki. Raka bergerak menuju jenazah, Tryan mulai mengamati lingkungan kamar hotel pria tersebut, dan Kevin mulai bertanya dengan nada biasa kepada teman-teman korban.
Tapi, belum sempat ketiganya beraksi, tiba-tiba polisi datang.
“Hei, hei, apa yang kalian lakukan disini? Ini tugas polisi. Sebaiknya Anda tidur saja,” kata salah satu petugas polisi.
“Tenanglah, kami tidak akan merepotkan Anda semuanya. Malah kami bisa membantu anda,” ujar Raka yakin.
“Terserah kalian saja, tapi jangan mengganggu penyelidikan kami,” kata polisi itu.
“Tentu saja,” jawab Raka pendek.
Tiba-tiba Kevin bergerak mendekatiku. “Kidiw, kenapa kamu tidak melanjutkan tidurmu aja?”
“Aku takut, kak. Ternyata firasatku benar. Aku tidak akan tidur nyenyak setelah melihat sendiri jenazah ini. Bisakah aku tetap di sekitar sini? Aku tidak akan mengganggu kegiatan detektif kalian,” jawabku.
“Baiklah, tapi jangan pergi jauh-jauh dari kami, ya,” Kevin memperlihatkan senyum manisnya. Aku ikut tersenyum dan mengangguk, lalu bergerak menuruni tangga dan sedikit menjauhi TKP dan duduk di pasir. Aku benar-benar stres, sampai tak ingin tahu apa yang ditanyakan Kevin kepada keluarga itu, atau apa yang telah ditemukan Tryan, atau hal aneh apa yang Raka lihat pada jenazah itu. Aku mencoba mengusir perasaan tak enak itu dengan mendengarkan lagu (untung aku membawa iPod Touch di saku celana pendekku). Setelah kira-kira mendengar 7 lagu yang terdiri dari lagu-lagu Lady Gaga, Paramore, Justin Bieber, Katy Perry, Avril Lavigne, Linkin Park, dan My Chemical Romance, aku sedikit tenang. Aku memutuskan naik tangga lagi menuju TKP, ternyata trio detektif itu terlihat sibuk berdiskusi serius mengenai kasus itu. Betapa cepatnya mereka berganti kepribadian, dari jahil menjadi sangat serius. Aku mengamati mereka dalam diam. Bisa kulihat mata Raka bersinar cemerlang, sepertinya si bandel ini sudah menemukan titik terang dari kasus ini. Tak lama kemudian, dengan pede ketiganya menemui polisi.
“Pak, saya sudah tahu siapa pelakunya,” kata Raka tenang.
“Apa kau yakin?” kata salah seorang polisi ragu.
“Coba dengarkan dia dulu,” ujar polisi lainnya.
“Begini, pertama korban bernama Iwan Setiawan, 20 tahun, kuliah di FISIP di sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta. Dia dan tiga teman lainnya berkunjung kesini bermaksud mengisi liburan semester. Tiga temannya itu adalah Ciara Kinanti, 20 tahun, kuliah di jurusan arsitektur di universitas yang sama dengan Iwan. Kedua adalah Mona Lisa, 20 tahun, kuliah di jurusan kriminologi di sebuah universitas negeri terkenal di Depok. Ketiga adalah Febrianto, 21 tahun, kuliah jurusan perikanan di sebuah universitas negeri di Bogor.” Orang-orang yang tadi disebut Raka bertukar pandang tak percaya, tapi aku sudah tahu bahwa sejak kecil Raka suka mengamati hal-hal kecil dan menarik kesimpulan darinya. Dia seperti Holmes mini saja. Tapi aku tetap tak menyangka kalau Raka sebetulnya punya bakat untuk menjadi detektif swasta.
“Pada saat kejadian itu,” ia melanjutkan, “semua mempunyai alibi kuat bahwa mereka ada di kamar masing-masing. Mereka tidak melihat Iwan berjalan ke arah loteng, tapi tak menduga bahwa Iwan akan tewas disitu. Tentu saja, saat pertama melihat mayat bergantung disini, semua orang mengira ia tewas bunuh diri. Tapi, ternyata tidak seperti yang kita duga,” ia berhenti sejenak untuk memberi kesan dramatis, “ini adalah PEMBUNUHAN.” Ia mengeja pelan kata-kata itu.
“Bagaimana caranya?” tanya polisi itu tak percaya.
“Mudah sekali Pak, dari hasil pengamatan kakak saya Tryan, ditemukan kawat baja yang tertinggal di TKP. Luka dtipis di lehernya membuktikan hal itu. Iwan bukanlah orang bodoh yang akan sengaja masuk ke loteng tanpa penyebab tertentu. Ini,” dia menunjukkan senter yang dibungkus plastik, “adalah penyebabnya. Mereka mengakui bahwa sebelum ini, mereka iseng mengamati loteng yang baru mereka sadari keberadaannya menggunakan senter milik Febrianto. Namun Brian, panggilan singkatnya, sengaja meninggalkan senter itu agar dia bisa menyuruh Iwan mengambilkannya. Padahal sebelumnya mereka menyiapkan sebuah kawat baja tipis yang telah dibentuk lingkaran yang pas dengan ukuran kepala Iwan. Kawat ini sangat tipis sehingga tak bisa dideteksi keberadaannya di kegelapan. Brian sengaja men-setting agar senter itu ditaruh di atas lemari usang yang tinggi sehingga Iwan harus menaiki tangga – padahal di atas tangga itu telah disiapkan kawat baja tersebut. Malangnya Iwan tak melihatnya, ia hanya berusaha mengambil senter tersebut. Ketika ia berusaha menuruni tangga, ia merasakan cekikan di leher. Dari info yang saya dapat dari mereka bertiga, Iwan adalah orang yang mudah panik, bisa dipastikan ia langsung meronta dan berusaha melepas kawat baja tersebut. Sayang usahanya gagal total, tangga pijakannya malah jatuh, ia kesulitan bernafas dan... pergilah dia,”
“Tunggu, tunggu! Dari cerita Anda, mengesankan bahwa sayalah pelakunya. Anda jangan sembarang tuduh dong! Apa buktinya??” kata lelaki yang bernama Febrianto alias Brian itu penuh emosi.
“Bukan Anda satu-satunya pelaku,” jawab Kevin dingin. “Anda hanyalah eksekutor dari pembunuhan terencana ini. Ini merupakan konspirasi kalian bertiga. Saya tak tau apa alasan kalian sampai tega membunuh teman kalian sendiri.”
“Apa buktinya?” ujar perempuan yang kuduga bernama Mona Lisa itu sambil tersenyum sinis.
“Lihat jemari Brian,” kata Kevin kalem, “jari penuh bekas sayatan itu salah satu bukti dia banyak berurusan dengan kail pancing yang terbuat dari kawat baja. Mungkin di kuliahnya ia sudah banyak praktikum tentang perikanan. Salah satunya teknik menggunakan pancing. Mungkin saja dia juga hobi memancing, karena kurasa bekas luka itu agak terlalu banyak untuk mahasiswa semester awal sepertinya. Ciara barang kali mempunyai dendam pribadi hingga membiarkan saja temannya beraksi membunuh temannya sendiri. Mona, yah dia mengambil jurusan kriminologi, pastinya ia terbiasa dengan metode-metode kejahatan. Agaknya ia juga suka membaca cerita detektif sepertiku. Ialah otak dari kejahatan ini.” Kevin tersenyum tipis.
“Apa kau bilang? Jangan memfitnah kami!” seru Ciara emosi, tapi Mona hanya bertepuk tangan sambil tertawa aneh.
“Ternyata detektif amatiran seperti kalian pun mampu memecahkan kasus ini,” katanya sambil menyeringai seram. “Aku sudah lama menanti kesempatan untuk menggunakan ilmuku ini. Apa guna ilmu bila tak terpakai, ya kan? Dan mereka datang begitu saja, curhat kepadaku. Ciara menangis menyadari dirinya hamil, namun Iwan tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Brian mengeluhkan Iwan yang sering kali berhutang kepadanya hanya untuk membeli miras murahan yang ada di warung. Kuhasut mereka untuk membunuh Iwan. Kukatakan, “Manusia tak berguna seperti Iwan tidak layak tinggal di dunia yang indah bersama kalian,” dan ternyata mereka sependapat denganku. Lalu kubeberkan rencana untuk membunuh Iwan. Tanganku harus bersih dari kejahatan ini, biarlah otakku yang bekerja. Kupikir rencanaku sudah sempurna, ternyata dengan mudah kalian pecahkan. Aku salut dengan kalian, detektif amatir. Mungkin kalian heran mengapa semudah ini aku mengakui kejahatanku, atau bisa dibilang menyerah. Tidak. Ini hanyalah awal dari segalanya.”
Mona mengangkat tangannya, seakan menunjukkan sikap penyerahan diri. Mau tidak mau Brian dan Ciara ikut. Akhirnya mereka digiring polisi keluar. Tapi, saat itu Mona masih sempat mengucapkan kalimat terakhirnya sebelum masuk mobil polisi: “Ingatlah, ini adalah awal dari segalanya,” sambil tersenyum cantik tapi bengis.
Tanpa ba-bi-bu aku langsung memeluk Tryan dari belakang.
“Kidiw! My little princess! Kukira kau dibawah,” kata Tryan lembut.
“Aku dengar tadi kata-kata kalian saat mengungkap kasus. Keren sih, tapi...”
“Tapi kenapa?”
“Aku takut mendengar ancaman Mona tadi. Kurasa dia serius dengan ucapannya. Kalian masih dalam bahaya, selama Mona masih ada.”
“Tenanglah Kidiw, yang penting untuk sementara ini Mona sudah digiring ke penjara. Untuk sementara ini, kita aman.”
Aku terdiam sesaat mendengar kata-kata Tryan, lalu berkata, “Janji, jangan gegabah lagi ya? Jaga diri kalian. Aku belum mau kehilangan kakak-kakak cowokku.”
“Itu pasti, princess,” kata Kevin, lalu ia tersenyum.
“Udah, udah! Penjahatnya udah pergi kok! Kamu mau tidur atau nunggu sunrise?” tanya Raka ringan. Ekspresinya berubah dari wajah serius kembali menjadi wajah yang kukenal, ekspresi iseng yang biasanya.
“Nunggu sunrise aja deh kak, tanggung hampir pagi,” kataku sambil menahan kuap.
“Boleh, tapi jangan salahin aku kalau kamu sakit yaa,” katanya sambil tersenyum jahil.
Aku tertawa. “Ah, kakak kayak ga tau aja kalo aku gampang sakit. Meskipun hari ini aku tidur seharian, tetep aja bakal pusing juga.”
“Ya udah, aku dan Tryan ambil gitar dulu, kita nyanyi-nyanyi aja menunggu pagi,” kata Raka.
“Oke deh kak!” kataku gembira.
Aku sebenarnya tidak terlalu yakin bahwa mereka semua benar-benar aman dari psikopat wanita gila itu, tapi melihat ekspresi mereka yang rileks, mau tak mau aku ikutan rileks. Aku hanya berdoa di dalam hati semoga keyakinan mereka benar. Bahwa mereka aman.

0 comments:

Pages

About Me

My Photo
Humaira's Story
I'm loved by some, hated by many, envied by most, yet wanted by plenty
View my complete profile

Followers

Total Pageviews